Tanggal 21 Juni 1964 di Kota Solo, lahirlah Aloysius Didiek Yun Edy Warsito,S.H., atau yang lebih dikenal dengan Mas Didiek SSS, saksofonis terkemuka Indonesia. Tiga “S” adalah singkatan dari nama kedua orangtuanya, Sunarno Siswodarsono (ayah) dan Suparni (sang ibu).
Pada usia balita, Mas Didiek sering ikut ayahnya ke tempat kerja di RRI Surakarta. Ayahnya adalah pimpinan orkestra radio ini. Keinginannya untuk bermain musik pun muncul. Maka, pada usia empat tahun, ia mulai berlatih pecolo (flute berukuran kecil) pada sang ayah.
Pada usia balita, Mas Didiek sering ikut ayahnya ke tempat kerja di RRI Surakarta. Ayahnya adalah pimpinan orkestra radio ini. Keinginannya untuk bermain musik pun muncul. Maka, pada usia empat tahun, ia mulai berlatih pecolo (flute berukuran kecil) pada sang ayah.
“Saya merasa bahwa saya ini adalah anak bungsu dari 8 bersaudara. Keluarga saya hidupnya pas-pasan. Ayahnya gajinya sangat kecil. Himpitan ekonomi keluarga memacu saya untuk tekun berlatih musik,” ungkapnya menerawang masa kecilnya yang berat.
Dalam hatinya ada niat kuat untuk membantu ekonomi keluarga dengan bermain musik. “Sepulang sekolah saya tidak pernah tidur siang. Saya berlatih musik. Demikian pula malam hari. Setelah belajar sore saya berlatih lagi,” kisah Mas Didiek mengungkap kegigihannya belajar musik.
Pada usia delapan tahun, Mas Didiek sudah menjadi pemain flute yang handal. Ia sering bermain di RRI Surakarta mengikuti jejak ayahnya.
Melambung
Di kota kelahirannnya, Mas Didiek mulai populer sebagi peniup flute yang memukau. Kelas 5 SD, Mas Didiek sudah diundang tampil di banyak tempat. Dari bermain musik itulah dia mendapat uang. “Umur 10 tahun, saya sudah bisa mencari uang sendiri. Honor saya tahun 1975 adalah Rp.5.000. SPP saya ketika itu Rp 75. Uang segitu bagi saya begitu berharga. Saya jadi bisa mengangkat perekonomian keluarga saya,” ujarnya.
Di usia SMP, Mas Didiek mendapat tawaran untuk tampil di beberapa tempat di daerah Jawa, seperti Surabaya dan Semarang. Guru musik satu-satunya adalah ayahnya sendiri. Selanjutnya ia mengembangkan sendiri dengan terus berlatih dan bermain bersama para musikus lainnya. Ia merasa beruntung, ayahnya mendidiknya dalam bermain musik dengan metode yang benar. Ayahnya bersifat keras, hal itulah yang menjadi cambuknya untuk berjuang.
Saat menginjak kelas 2 SMA (1981), Mas Didiek nekat pindah ke Jakarta. Dia ingin tampil di televisi. Di Jakarta, ia ikut bersama kakaknya Embong Raharjo (alm). Belum sebulan di Jakarta, Mas Didiek berhasil tampil di TVRI dalam acara Orkes Telerama bersama Adi MS, Erwin Gutawa, Embong Rahardjo, dan Jimmi Manopo. Ia bisa bermain dengan musisi-musisi terkenal, padahal usianya saat itu masih muda. Selain itu ia tampil di berbagai acara musik televisi miliki pemerintah itu. Mas Didiek juga mengisi rekaman banyak artis musik papan atas Indonesia. Bukan hanya tampil di Indonesia, Mas Didiek juga tampil di beberapa negara, seperti Belanda, Singapur, Brunei, dan beberpa negara lain di Asia dan Eropa. “Saya mulai kewalahan, saya dibutuhkan banyak orang,” ujarnya.
Karienya makin menanjak. Ia bukan hanya jago meniup flute, tapi juga saksofon. Tawaran untuk tampil makin banyak, otomatis Mas Didiek mendapat honor yang banyak pula. Semua bisa di dapat dengan mudah. Di situlah awal kesombongan Mas Didiek.
“Dari situ saya merasa tanpa Tuhan saya bisa meraih segalanya. Saya jadi malas ke Gereja, sibuk dengan aktivitas saya sendiri,” kenangnya penuh sesal.
Suatu malam Mas Didiek merasa disentuh Tuhan. “Ketika saya pulang ke rumah jam 12 malam, tepat di depan pintu rumah, saya tiba-tiba jatuh. Dari kaki sampai kepala semuanya sakit, saya sudah tak berdaya. Sepertinya maut sudah di depan saya. Saya sendiri tidak tahu tentang sakit saya waktu itu, yang jelas saya sudah seperti orang yang tak berdaya selama 10 hari,” urai Mas Didiek menyampaikan pengalamannya.
Dari peristiwa itu ia merasa disentuh oleh Tuhan, sehingga ia sadar akan kesombongannya. “Tuhan mungkin saya selama ini banyak dosa. Dulu saya rajin misdinar di Gereja, lalu Tuhan beri talenta dan bakat kepada saya, juga harta yang melimpah. Kok, saya malah lupa dengan Tuhan. Tuhan, kalau saya sembuh, saya ingin melayani Tuhan. Tapi saya hanya bisa melayani Tuhan dengan bermain musik,” ungkap Mas Didiek menirukan doa permohonannya pada Tuhan ketika itu.
Ternyata doa itu didengar Tuhan. Setelah sembuh, Mas Didiek tampil bermusik lagi. Ketika ia sedang show, ia bertemu dengan seorang romo yang bertugas mengajar di seminari. Romo itu menawarinya untuk menjadi pengajar musik di Seminari Menengah Wacana Bhakti Jakarta.
Bersama Embong Raharjo dan Tony Suwandi, dibentuklah Orkestra Seminari Wacana Bhakti. Mereka mengasah kemampuan bermusik para calon imam hingga mahir memainkan berbagai instrumen musik. Mulai sejak itu Mas Didiek sering mengadakan konser di berbagai paroki.
“Kadang saya tampil bersama anak-anak seminari, kadang juga saya tampil sendiri. Selama ini saya sudah mengadakan konser di 119 paroki seluruh Indonesia dan Paroki Santo Yoseph Palembang adalah yang ke 120. Biasanya saya tampil pada hari Sabtu dan Minggu,” ujar Mas Didiek yang hingga kini, setiap Rabu mengajar musik di Seminari Wacana Bhakti.
Bermusik untuk Gereja menjadi prioritasnya. Ia selalu mengutamakan kepentingan Gereja. Tawaran main di gereja lebih sering pada Sabtu dan Minggu. Padahal dua hari di akhir pekan ini bagi seorang musisi profesional seperti dirinya justru padat undangan main. “Ya, ini sudah menjadi komitmen saya. Saya bersedia diundang tampil ke mana saja. Sejauh saya mampu menjangkaunya dan waktunya cocok,” tambahnya meyakinkan.
Suatu perjalanan iman yang luar biasa dirasakan Mas Didiek, ketika ia disentuh Tuhan. Dengan talenta bermusiknya yang luar biasa, Mas Didiek ingin membaktikan diri untuk gereja. “Tampil di gereja, saya tidak pernah hitung-hitungan dengan honor. Saya hanya memberi yang terbaik bagi semua. Saya merasa Tuhan sudah memberi semuanya kepada saya, maka saya tidak mau itung-itungan. Saya tampil dengan seluruh ketulusan saya. Banyak yang ngomong bahwa umat begitu tersentuh dengan permainan musik saya. Sekali lagi itu bukan berasal dari kehebatan saya, tapi dari ketulusan saya. Saya selalu berusaha untuk berbuat baik dengan tulus hati. Hanya ini yang bisa saya berikan pada Tuhan, tapi itu bisa menjadi berkat bagi semua orang,” ujarnya.
Bermain Dari Hati
Gaya memang penting sebagai ekspresi keindahan artis pada waktu tampil. Ketika bermain flute atau saksofon, Mas Didiek sering meliukkan badannya seturut hembusan nafasnya. “Saya memainkannya dari hati, total, dan tidak dibuat-buat,” ungkapnya.
Permainan yang ekspresif ini mampu menghasilkan nada yang bertenaga. Ini merupakan hasil pengolahannnya dalam mengenali nuansa atau tipikal lagu, ia juga menambahkannya dengan improvisasi yang pas. Asia dan Eropa sudah dicicipinya. Bagi seorang Mas Didiek, dengan talenta bermusik yang terus terasah dan memiliki dasar musik yang kuat, bukan merupakan sesuatu yang didapat dengan mudah. Ia berujar, bahwa orang akan dihargai kalau punya kepandaian.
“Semua orang itu diberi talenta, maka itu harus dikembangkan. Saya tak pernah membayangkan bahwa saya akan menjadi seperti ini. Saya ini tak punya apa-apa, saya hanya bisa mengembangkan talenta yang telah diberikan oleh Tuhan. Untuk menjadi sukses diperlukan proses belajar yang panjang dan dituntut ketekunan. Jangan pernah putus asa. Kita mesti berjuang keras !” sarannya.
Kunjungan Ke Seminari
Sabtu 26 April 2008 merupakan hari yang berkesan bagi seluruh penghuni Seminari Menengah Santo Paulus Palembang. Pada hari itu, Mas Didiek SSS dan Mbak Jovita AFI berkunjung ke Seminari Menengah Santo Paulus Palembang.
Kedatangan mereka ke Palembang dalam rangka mengisi acara Paskah Bersama Umat Katolik Dekanat I Palembang tanggal 27 April 2008. Oleh Uskup Agung Palembang, Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, mereka diminta untuk hadir dan tampil di kapel Seminari. Harapannnya agar bisa membangkitkan semangat para seminaris dalam hal bermusik.
Saat berkunjung Seminari Menengah Santo Paulus Palembang, Mas Mas Didiek merasakan sebuah semangat persaudaraan. “Saya merasa seperti datang ke rumah saya sendiri. Seandainya seminari ini berada di Jakarta, saya punya keinginan untuk melatih bermain orkes. Saya selalu mendukung usaha untuk mengadakan orkes di seminari ini. Saya dukung 100 %. Jika itu terwujud, mungkin beberapa bulan sekali saya akan ke sini,” janjinya.
Kepedulian mas Mas Didiek terhadap seminari memang begitu besar. Baginya, sudah merupakan kewajibannya sebagai umat katolik untuk memperhatikan pendidikan para calon imam. “Saya bangga dengan jumlah seminaris seminari ini yang cukup banyak. Semoga kalian semua tekun dalam meniti panggilan. Saya selalu berpesan untuk semuanya agar selalu belajar dan rendah hati, karena itulah kunci kesuksesan,” ujarnya.
Bendiktus Yogie W & Andreas Yudistira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar