Minggu, 01 Juni 2008

Memaknai Perpisahan

Gejolak Rasa di Kala Berpisah
Ada perasaan berat ketika orang harus melangkah meninggalkan sesuatu. Terlebih bila sesuatu itu sudah dikenalnya. Sekian waktu telah mengisi hari-harinya. Atau mungkin telah menjadi bagian dari hidupnya. Bahkan telah banyak kenangan yang ditorehkan. Sepenggal lirik lagu pop berbunyi, “bukan perpisahan yang kusesali tapi pertemuan yang kusesali” ingin mengatakan bahwa kalau nanti ujung-ujungnya berpisah, lebih baik tidak pernah bertemu supaya tidak mengalami sedihnya sebuah perpisahan. Memang harus diakui bahwa perpisahan itu meninggalkan bekas kepedihan yang mendalam, apalagi berpisah dengan orang yang dikasihi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kesedihan yang mendalam merundung diri para murid Tuhan Yesus. Bahkan ketika mereka tahu bahwa guru yang mereka kasihi mati dengan cara tragis, digantung di atas kayu salib. Para murid tidak hanya bersedih tapi juga dicekam ketakutan, kalau-kalau mereka ditangkap dan disalib seperti guru mereka. Mereka tercerai berai, bersembunyi, kecewa, dan patah semangat. Yesus yang mereka banggakan, agungkan, dan menjadi tumpuan harapan mereka, kini tidak ada lagi. Mereka seolah kehilangan arah. Yesus sendiri pernah mengatakannya kalau murid-murid-Nya akan kucar-kacir seperti domba yang tidak bergembala (Mat. 26:31).

Ada rasa inginkan salam perpisahan, kata berpisah dari siapa saja. Meski kadang itu hanyalah sebuah harapan. Bisa jadi ia sendiri justru tak mengharapkannya. Mungkin bukan salam perpisahan, karena memang tidak ada perpisahan, tetapi apa salahnya mengucapkan sekedar ucapan terima kasih karena sudah sekian lama hidup bersama.

Kata ‘perpisahan’ mau tidak mau mengajak seseorang untuk melihat jauh ke dalam soal kenangan indah yang pernah diukirnya. Keadaan yang demikian bisa saja semakin memantapkan seseorang untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat. Namun tak dapat dipungkiri juga bisa membuat orang antipati dalam mengayunkan langkahnya, karena kenangan rusak yang diukirnya.

Kadang orang harus berpikir, apakah memang hal itu yang harus diperjuangkan? Apakah ini sungguh pilihan hidupku? Di luar sana mereka menyuarakan tentang karier, kesuksesan, keluarga bahagia, dan kemajuan teknologi. Tapi apakah mereka memahami apa yang sedang mereka suarakan itu? Jangan-jangan apa yang mereka katakan itu bertentangan dengan apa yang mereka lakukan. Tampaknya keduanya mempunyai resiko atau konskuensinya.


Berpisah dan Berubah
Selama sekian tahun orang hidup dalam proses formatio atau pembinaan, ia pasti akan kenal dengan rasa pahit dan manisnya hidup yang dipilihnya. Masa-masa bahagia tentu pernah mengisi hari-harinya. Masa-masa di mana ia menjadi sebuah keluarga yang saling mendukung, saling berbagi antara kesedihan dan kebahagiaan seakan menjadi torehan yang akan selalu dikenangnya.

Awalnya tak pernah terpikirkan kalau ia harus meninggalkan semua kisah itu. Ia pun harus menjadi mantap dengan langkahnya untuk meninggalkan kisah-kisah itu. Ia harus mengayunkan langkahnya dengan penuh semangaat untuk meraih cita-citanya dengan sebuah harapan baru akan hari esok yang akan lebih baik. Ia harus melangkah dengan menutup lembaran buku lama dan membuka kembali lembaran yang baru.

Perpisahan tak selalu menimbulkan kesedihan. Perpisahan itu justru mendatangkan sukacita besar, memberi semangat hidup, bahkan mengubah hidup sekelompok orang. Perpisahan itu dialami oleh Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya, ketika Ia diangkat ke surga meninggalkan murid-murid-Nya di dunia.

Tapi keadaan berubah total, seolah berbalik 180o. Pada saat itu kesebelas rasul sedang berkumpul dengan teman-temannya (Luk. 24:33), Yesus menampakkan diri kepada mereka dan membawa mereka ke Bukit Zaitun. Setelah mengucapkan pesan terakhir, dan memberkati mereka, Yesus terangkat ke surga. Melalui peristiwa kenaikan Yesus ke surga, murid-murid-Nya diubahkan. Alkitab mencatat, “lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita.

Mereka senantiasa berada di dalam Bait Allah dan memuliakan Allah” (Luk. 24: 52-53). Mereka yang dulu sedih kini sangat bersukacita. Para murid yang sebelumnya bersembunyi dari orang-orang Yahudi, tapi sekarang menampakkan diri secara terang-terangan di Bait Allah, yang notabene adalah sentral keagaaman orang Yahudi. Mereka yang tidak punya gairah hidup, menjadi orang-orang yang memuliakan Allah. Sedemikian dasyatnyakah peristiwa kenaikan Tuhan Yesus telah merubah mereka? Apa yang telah mengubah mereka? Mereka digerakkan oleh Roh yang saat itu menjadi daya hidup mereka.

Berpisah dan Berbuah
Harus di-amin-i bahwa panggilan adalah rahmat Allah. Sebuah undangan untuk mewartakan kasih Allah, Bapa. Di satu sisi menuntut ketergerakan pribadi untuk membalas cinta Allah, sekaligus menuntut gerak bersama dalam saling berbagi cinta Allah itu. Oleh karena itu perpisahan hanyalah sebagai sebuah konsekuensi atas panggilan yang dipilih untuk semakin menghasilkan buah di tempat yang lain dan bersama dengan yang lain. Yang jelas gerak membalas cinta Allah itu terus menjadi dinamika hidupnya.

Kesadaran sebagai priadi yang dipanggil Allah dan menjawabnya menjadi modal awal untuk bisa menghasilkan buah. Tetapi kesadaran itu tidak cukup. Orang juga harus sampai kepada pribadi yang menemukan makna hidupnya. Mengapa demikian? Sebab, kekosongan nilai dan makna hidup menjadi persoalan yang mendasar dan harus dihadapi sebelum orang serius akan panggilan. Dengan demikian orang akan mempunyai orientasi hidup dan nilai-nilai fundamental yang senantiasa diperjuangkan. Orang yang sampai pada kesadaran diri sebagai orang yang terpanggil dan menemukan makna hidupnya serta memiliki orientasi hidup, maka ia akan senantiasa membangun budaya baru yang memungkinkan orang-orang di sekitarnya menemukan makna hidup mereka di hadapan Allah.
@Fr. P. Haruanto

Tidak ada komentar: