Mbok Rondho Sri. Tak terbayangkan sebelumnya olehku bahwa aku akan dapat berjumpa dengan sosok ibu yang sejak dua tahun ini ditinggalkan suaminya menghadap Bapa. Sosok ibu itu akrab disapa Bu Sri. Dia adalah seorang Mbok Rondho Sri beranak dua. Anak pertama bernama Ipung dan anak kedua bernama Puji. Keluarga ini tinggal 15 km dari kota Baturaja. Tepatnya di Unit Transito Tegal Arum.
Sebagai sebuah keluarga petani, Bu Sri dengan kedua anaknya itu hidup dari hasil kebun yang ditekuninya setiap hari. Bangun pagi-pagi pukul 5.30 lalu pergi untuk nyadap karet hingga jam 9.00, dilanjutkan dengan ngobat (nawas karet) adalah pekerjaan rutin yang setiap hari harus dilakukan.
Itulah sekelumit situasi keluarga tempat saya live in. Bagiku situasi itu amat asing. Bukan saja karena Bu Sri ini orang yang baru saja kukenal, tetapi juga rutinitas hidup sehari-harinya yang membuat aku merasa penasaran untuk mencermati dan memahaminya. Meski kuakui bahwa aku sebenarnya merasa tidak kuat harus bekerja memeras keringat. Tetapi aku berusaha untuk tetap bertahan dan menjalankanya.
Bersama keluarga Bu Sri, kini aku berusaha menjadi seorang petani penyadap karet. Tak ada keahlian padaku untuk profesi atau pekerjaan ini. Terlintas di benakku, “Jangan-jangan aku justru akan mengganggu dan merepotkan keluarga Bu Sri.” Tetapi apa boleh buat, karena aku tinggal bersama dengan keluarga yang mata pencahariannya petany karet.
Belajar dari Kesalahan
Pengalaman yang menarik dan berarti kualami bersama dengan keluarga ini. Ketika itu aku merasakan telah melakukan kesalahan besar. Hari itu adalah waktunya untuk ngangkit (mencetak) getah karet. Namun getah yang disadap pagi itu tidaklah mencukpi untuk dicetak. Tanpa disuruh oleh Mas Ipung yang sudah kuanggap sebagai kakakku, rasa penasaranku mendorongku untuk memberikan obat (tawas) pada getah karet itu. Akhirnya getah itu pun menjadi beku.
Kesalahan besarnya adalah bahwa karet yang kuberi obat itu belum siap untuk diberi obat dan harus menunggu cukup untuk dicetak. Oleh sebab itu, akhirnya kami harus kembali menyadap untuk kedua kalinya. Yakni pagi dan siang. Padahal, nyadap dua kali tidak diperbolehkan. Mengapa? Karena akan merusak batang karet atau tanaman karet itu. Lagi pula pada siang hari getah yang dihasilkan dari pohon karethanya sedikit. Getah yang kami perlukan kurang lebih dua ember untuk proses pencetakan. Kakaku merasa ragu jika getah yang dihasilkan pada sadapan siang akan cukup. Akupun menjadi sangat takut dan merasa bersalah.
Dalam situasi kecemasan itu aku berkali-kali berdoa dalam hati berdoa dan memohon kepada Tuhan, supaya getah yang dihasilkan mencukupi. Alhasil setelah kurang lebih dua jam kami menunggu, getah yang dihasilkan pada sadapan siang itu ternyata bisa mencapai dua ember. Kamipun sangat senang, keraguan dan kecemasan yang kami rasakan akhirnya terjawab dengan hasil yang memuaskan.
Pohon Karet yang Bisu
Sekian banyak pohon karet setiap paginya harus kuhadapi. Asyik, karena aku bisa melihat pemandangan alam di kampung karet ini. Syukurlah bahwa aku juga dapat menghirup udara segar di bawah rindangnya pohon karet. Tentu bila ini kubandingkan dengan udara yang setiap hari kuhirup di kota Palembang. Semangatku untuk menyadap karet pun membuat aku semakin mengenali jerih payahnya hidup seorang penyadap karet. Hatiku sangat senang bila hasil sadapan itu memperoleh banyak, apa lagi melebihi hasil biasanya.
Tetapi perasaan senang seperti itu kadang tidak sebanding dengan kebosanan dan kejengkelan-ku dalam menghadapi setiap pohon karet. Bagaimana tidak bosan bila yang kuhadapi kemana-mana hanyalah pohon karet yang tidak bisa diajak omong. Dalam hati kecil aku berkata, pohon-pohon karet ini bisu. Mereka hanya bisa memberikan keteduhan dan mengeluarkan getah, hanya itu.
Bagi Bu Sri dan kedua anaknya, itu hal yang biasa. Bahkan mereka kadang mengalami tidak mendapatkan getah sedikit pun karena hujan yang terus mengguyur pohon karet di kebun mereka. Dengan demikian berarti ia tidak memperoleh uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Bu Sri dan kedua anaknya pun harus senantiasa gelisah tentang getah yang sudah mengalir di setiap pohonnya. Jangan-jangan diangkit orang. Ternyata tidak seringan yang kubayangkan pertaruhan hidup Bu Sri dan kedua anaknya ini. Lalu apa yang membuat mereka tetap bertahan dalam situasi seperti itu? Mereka memiliki harapan yang besar. Mereka selalu yakin dengan prinsip bahwa setiap orang itu khan punya rezeki sendiri-sendiri.
Belajar dari yang Sederhana
Hal baru yang kujumpai menjadi bertambah, ketika semakin lama aku tinggal bersama dengan keluarga Bu Sri. Keluarga ini ternyata sungguh sederhana, entah dari cara hidupnya, rumah tempat tinggalnya, juga isi rumah baik perabot rumah tangga maupun barang yang lain.
Ketika sore menjelang dan kan malam tiba, keluarga Bu Sri ini tidak langsung istirahat. Mereka merasa harus menghadiri pertemuan kring, baik untuk pertemuan kring, doa novena atau rosario. Biasanya kegiatan kring dilaksanakan antara pukul 20.00 sampai dengan 22.00 malam. Aku pun mengiktui rutinitas ini, meski sebenarnya mata ini berat karena cape turut bekerja di kebun pada saat siang. Sepulang dari doa itulah aku baru dapat memejamkan mata ini dan beristirahat. Aku akhirnya sadar dan tahu bahwa kegiatan live in, bukan saja mengajariku agar aku dapat merasakan kegiata-kegiatan yang dilakukan umat setiap harinya, melainkan juga agar aku juga belajar me-manage diri.
Aku semakin mengenal suka-dukanya menjadi seorang petani penyadap karet. Menjelang hari ke-7, aku sadar bahwa aku harus meninggalkan keluarga Bu Sri sebagai keluarga petani penyadap karet. Aku harus kembali ke alam dan dunia-ku sebagai seminaris yang harus belajar dan belajar. Kalu boleh jujur, kejenuhan atau kebosanan berhadapan dengan pohon karet yang asing bagiku perlahan sebenarnya berangsur-angsur mulai berkurang. Akupun dapat merasakan kehangatan sebuah keluarga baru dalam kebersamaan di dalamnya. Kebersamaan yang membuat keluarga ini tetap dalam hidup yang senantiasa rukun dan damai.
Dengan pengalaman berjumpa dengan Keluarga Bu Sri ini, aku juga merasakan adanya suatu kedekatan antara umat dengan Allah dalam hidup rohani mereka. Syukur kepadaMu Allah Bapa yang mengasihiku, karena dengan kegiatan live in ini secara langsung dan nyata aku dapat melihat kedalaman hidup dan kepribadianku untuk terus kukembangkan. Rasanya aku ingin tinggal lebih lama. Tetapi apa boleh buat, biarlah itu sebagai pengalaman berharga bagiku. Aku hanya dapat berharap semoga pengalaman berharga ini menjadi kenangan yang memberikan semangat dan semakin menguatkan hidup panggilan yang aku jalani saat ini.
Sebuah Hikmah
Dalam perjalanan pulang aku merenung-renung, mengapa aku bisa sampai bertahan selama seminggu, bahkan ada keinginan untuk tinggal lebih lama lagi? Aku baru sadar bahwa keberadaanku dalam situasi baru dan asing dapat kujalani dan bahkan kunikmati karena ada suatu greget bahwa aku ingin belajar dan berusaha menjadi teman dan sahabat. Dengan demikian bila aku tinggal dengan mereka menjadi sahabat berarti aku juga harus hidup dan bekerja seperti mereka demi kelangsungan hidup mereka dan hidupku.
@Re-Camp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar