Selasa, 03 Juni 2008

ODE HARMONI


Diluar, hujan rintik rinai. Langit mendung bersenadung. Bianglala membias tertembus sinar senja. Harmoni merranya menemani sosok tubuh yang terpaku menatap isi dalam bingkai usang disalah satu bagian tembok rumahnya. Sembari menatap tangannya memegang sebuah buku. Tak dihiraukannya badai angin kecil yang menghujan kulit arinya. Sesekali muncul senyum kecil dibibirnya.

Ia melangkah lalu, mengambil sebuah kursi dan kemudian duduk bebas. Perlahan tangan kekarnya mulai mebolak-balik halaman dari buku itu. Nyanyian burung pipit di senja itu membuat segala sesuatu hilang dari jangkauan pikirannya, selain sebuah buku yang dihadapinya.

“Dik,.......dik.....dik!?!? Baru datang ya?”
“Ng......, iya mas!” sambut seorang anak sembari memberikan senyum
“Sendirian !?!?”
“Mboten mas, kulo kaleh simbok (tidak mas, saya bersama ibu) !”

Aku ingat betul bagaimana rasnya saat pertama kali menjejakkan kakiku di Seminari St. Paulus. Aku melihat wajah-wajah malaikat yang mempesonakanku. Dengan rasa ramah aku disambut olehnya, begitu juga dengan teman-temanku yang baru datang lainya. Aku merasa bukan sebagai orang asing lagi, sekalipun aku belum mengenal satu orangpun dari antara mereka.

Waktu terus bergulir, menerobos gelapnya perbedaan dan ego. Kesombongan dan rasa minder menjadi celaan abadi. Aku dan teman-teman selalu menguatkan dengan saling mengingatkan terhadap setiap penyimpangan yang sudah terjadi. Kritik, ejekan, sindiran sudah menjadi bagian dari hidup kami. Bagi kami, kebutuhan dalam study bukanlah hambatan yang patut ditakuti. Sekalipun kami menyadari bahwa menjadi sosk yang berhasil dan terkenal adalah cita-cita hidup. Namun selain dari pada itu masih ada yang lebih dari pada sekedar sukses yaitu “setia” pada komitmen awal.

Beberapa halaman buku catatan sudah aku baca. Kemudian aku mengambil sebatang pensil yang baru aku beli tadi pagi. Sambil meruncingi pensil, aku membayangkan jika setiap orang adalah sama seperti pensil bersedia diruncing agar bisa berfungsi sekalipun itu menyakitkan aku melihat bahwa aku adalah sebatang pensil yang akan berguna jika berada di tangan Tuan yang benar, yaitu Allah sendiri. Sama seperti pensil yang diruncingi,akupun harus bersedia mengalami pengalam yang menyakitkan yang mampu merpertajam goresan panggilanku. Pensil memberikan arti banyak, tentang arti kesiapsediaan dan kesanggupan untuk dihapus dari lembara-lembaran kertas. Tidak selamanya yang tertulis itu baik, terkadang perlu juga menoreksi diri dan siap menerima gurat-guratan baru dari si Tuan. Aku menyadari bahwa ada saatnya aku ditolak, dihapus, bahkan ditiadakan. Berhenti sejenak dan berefleksi adalah penting, terutama untuk melihat kembali siapakah aku ini dan apa yang telah aku perbuat selama ini?

Senja telah lama beranjak menuju tempat peraduannya. Bintang-bintang saling menodong senyum udara malam merayap menerobos rongga-rongga kaca yang masih menganga. Segera setelah sadar sang sosok menutup buku hariannya sembari menutup jendela. Selangkah dari asal, sang sosok menoleh ke belakang dan melempar senyum pada sepucuk surat yang baru saja ditulisnya. Terlihat kebahagiaan dalam armi jiwanya lewat rasa syukurnya yang ia tuliskan dalam surat itu :

Yth.
Sahabatku, di medan juang

Salam Damai Kristus,
Kepada kalian yang merasa dihapus dari lembaran ini, aku mengucap syukur untuk semua itu. Janganlah kalian berkecil hati dan menjadi benci pada masa lalu. Ingat, kebencian dan cinta tumbuh dari akar yang sama hnya bermuara pada buah yang berbeda. Sejauh aku mendengar, kalian telah memperoleh kebahagiaan dari apa yang telah kita terima di Seminari. Hendaknya kalian menyadari betapa kami merindukan kalian untuk bercanda dan berbagi kisah kembali seperti dulu. Sungguh, Allah itu adil ! Ia menghapus kalian dari lembaran ini karena Ia mempunyai rencan dan rancangan baru untuk kalian, yang jauh lebih indah. Tetaplah bersyukur. Kepada kalian yang merasa tidak pantas dan mundur atas kehendak bebas kalian, aku juga mengucap syukur bagi kalian. Kalian telah mempergunakan kebebasan kalian sebagai Anak-anak Allah dan Allah menghargai kebebasan itu. Jadi, hendaklah kalian bertanggung jawab dan bertambah bahagia atas pilihan itu sebab ada banyak saudara-saudari kita ynag mungkin sudah tidak mempunyai pilihan lagi dalam hidup mereka.

Dan kepada kalian yang masih berada di jalan ini, akupun mengucap syukur. Bukan karena kehebatan dan kebaikan kalian aku bersyukur tetapi karena “kesetiaan” kalian yang tak terukur. Berbanggalah selalu kalian sebab bukan kepada sembarang orang Allah memanggil tetapi hanya kepada orang yang berkenan di Hati-Nya Allah memanggil.



Sahabatmu

@Pius Agung
Rhetorica A

Senin, 02 Juni 2008

Selalu Belajar dan Rendah Hati

Tanggal 21 Juni 1964 di Kota Solo, lahirlah Aloysius Didiek Yun Edy Warsito,S.H., atau yang lebih dikenal dengan Mas Didiek SSS, saksofonis terkemuka Indonesia. Tiga “S” adalah singkatan dari nama kedua orangtuanya, Sunarno Siswodarsono (ayah) dan Suparni (sang ibu).
Pada usia balita, Mas Didiek sering ikut ayahnya ke tempat kerja di RRI Surakarta. Ayahnya adalah pimpinan orkestra radio ini. Keinginannya untuk bermain musik pun muncul. Maka, pada usia empat tahun, ia mulai berlatih pecolo (flute berukuran kecil) pada sang ayah.

“Saya merasa bahwa saya ini adalah anak bungsu dari 8 bersaudara. Keluarga saya hidupnya pas-pasan. Ayahnya gajinya sangat kecil. Himpitan ekonomi keluarga memacu saya untuk tekun berlatih musik,” ungkapnya menerawang masa kecilnya yang berat.

Dalam hatinya ada niat kuat untuk membantu ekonomi keluarga dengan bermain musik. “Sepulang sekolah saya tidak pernah tidur siang. Saya berlatih musik. Demikian pula malam hari. Setelah belajar sore saya berlatih lagi,” kisah Mas Didiek mengungkap kegigihannya belajar musik.

Pada usia delapan tahun, Mas Didiek sudah menjadi pemain flute yang handal. Ia sering bermain di RRI Surakarta mengikuti jejak ayahnya.

Melambung
Di kota kelahirannnya, Mas Didiek mulai populer sebagi peniup flute yang memukau. Kelas 5 SD, Mas Didiek sudah diundang tampil di banyak tempat. Dari bermain musik itulah dia mendapat uang. “Umur 10 tahun, saya sudah bisa mencari uang sendiri. Honor saya tahun 1975 adalah Rp.5.000. SPP saya ketika itu Rp 75. Uang segitu bagi saya begitu berharga. Saya jadi bisa mengangkat perekonomian keluarga saya,” ujarnya.

Di usia SMP, Mas Didiek mendapat tawaran untuk tampil di beberapa tempat di daerah Jawa, seperti Surabaya dan Semarang. Guru musik satu-satunya adalah ayahnya sendiri. Selanjutnya ia mengembangkan sendiri dengan terus berlatih dan bermain bersama para musikus lainnya. Ia merasa beruntung, ayahnya mendidiknya dalam bermain musik dengan metode yang benar. Ayahnya bersifat keras, hal itulah yang menjadi cambuknya untuk berjuang.

Saat menginjak kelas 2 SMA (1981), Mas Didiek nekat pindah ke Jakarta. Dia ingin tampil di televisi. Di Jakarta, ia ikut bersama kakaknya Embong Raharjo (alm). Belum sebulan di Jakarta, Mas Didiek berhasil tampil di TVRI dalam acara Orkes Telerama bersama Adi MS, Erwin Gutawa, Embong Rahardjo, dan Jimmi Manopo. Ia bisa bermain dengan musisi-musisi terkenal, padahal usianya saat itu masih muda. Selain itu ia tampil di berbagai acara musik televisi miliki pemerintah itu. Mas Didiek juga mengisi rekaman banyak artis musik papan atas Indonesia. Bukan hanya tampil di Indonesia, Mas Didiek juga tampil di beberapa negara, seperti Belanda, Singapur, Brunei, dan beberpa negara lain di Asia dan Eropa. “Saya mulai kewalahan, saya dibutuhkan banyak orang,” ujarnya.

Karienya makin menanjak. Ia bukan hanya jago meniup flute, tapi juga saksofon. Tawaran untuk tampil makin banyak, otomatis Mas Didiek mendapat honor yang banyak pula. Semua bisa di dapat dengan mudah. Di situlah awal kesombongan Mas Didiek.

“Dari situ saya merasa tanpa Tuhan saya bisa meraih segalanya. Saya jadi malas ke Gereja, sibuk dengan aktivitas saya sendiri,” kenangnya penuh sesal.

Suatu malam Mas Didiek merasa disentuh Tuhan. “Ketika saya pulang ke rumah jam 12 malam, tepat di depan pintu rumah, saya tiba-tiba jatuh. Dari kaki sampai kepala semuanya sakit, saya sudah tak berdaya. Sepertinya maut sudah di depan saya. Saya sendiri tidak tahu tentang sakit saya waktu itu, yang jelas saya sudah seperti orang yang tak berdaya selama 10 hari,” urai Mas Didiek menyampaikan pengalamannya.

Dari peristiwa itu ia merasa disentuh oleh Tuhan, sehingga ia sadar akan kesombongannya. “Tuhan mungkin saya selama ini banyak dosa. Dulu saya rajin misdinar di Gereja, lalu Tuhan beri talenta dan bakat kepada saya, juga harta yang melimpah. Kok, saya malah lupa dengan Tuhan. Tuhan, kalau saya sembuh, saya ingin melayani Tuhan. Tapi saya hanya bisa melayani Tuhan dengan bermain musik,” ungkap Mas Didiek menirukan doa permohonannya pada Tuhan ketika itu.

Ternyata doa itu didengar Tuhan. Setelah sembuh, Mas Didiek tampil bermusik lagi. Ketika ia sedang show, ia bertemu dengan seorang romo yang bertugas mengajar di seminari. Romo itu menawarinya untuk menjadi pengajar musik di Seminari Menengah Wacana Bhakti Jakarta.

Bersama Embong Raharjo dan Tony Suwandi, dibentuklah Orkestra Seminari Wacana Bhakti. Mereka mengasah kemampuan bermusik para calon imam hingga mahir memainkan berbagai instrumen musik. Mulai sejak itu Mas Didiek sering mengadakan konser di berbagai paroki.

“Kadang saya tampil bersama anak-anak seminari, kadang juga saya tampil sendiri. Selama ini saya sudah mengadakan konser di 119 paroki seluruh Indonesia dan Paroki Santo Yoseph Palembang adalah yang ke 120. Biasanya saya tampil pada hari Sabtu dan Minggu,” ujar Mas Didiek yang hingga kini, setiap Rabu mengajar musik di Seminari Wacana Bhakti.

Bermusik untuk Gereja menjadi prioritasnya. Ia selalu mengutamakan kepentingan Gereja. Tawaran main di gereja lebih sering pada Sabtu dan Minggu. Padahal dua hari di akhir pekan ini bagi seorang musisi profesional seperti dirinya justru padat undangan main. “Ya, ini sudah menjadi komitmen saya. Saya bersedia diundang tampil ke mana saja. Sejauh saya mampu menjangkaunya dan waktunya cocok,” tambahnya meyakinkan.

Suatu perjalanan iman yang luar biasa dirasakan Mas Didiek, ketika ia disentuh Tuhan. Dengan talenta bermusiknya yang luar biasa, Mas Didiek ingin membaktikan diri untuk gereja. “Tampil di gereja, saya tidak pernah hitung-hitungan dengan honor. Saya hanya memberi yang terbaik bagi semua. Saya merasa Tuhan sudah memberi semuanya kepada saya, maka saya tidak mau itung-itungan. Saya tampil dengan seluruh ketulusan saya. Banyak yang ngomong bahwa umat begitu tersentuh dengan permainan musik saya. Sekali lagi itu bukan berasal dari kehebatan saya, tapi dari ketulusan saya. Saya selalu berusaha untuk berbuat baik dengan tulus hati. Hanya ini yang bisa saya berikan pada Tuhan, tapi itu bisa menjadi berkat bagi semua orang,” ujarnya.

Bermain Dari Hati
Gaya memang penting sebagai ekspresi keindahan artis pada waktu tampil. Ketika bermain flute atau saksofon, Mas Didiek sering meliukkan badannya seturut hembusan nafasnya. “Saya memainkannya dari hati, total, dan tidak dibuat-buat,” ungkapnya.

Permainan yang ekspresif ini mampu menghasilkan nada yang bertenaga. Ini merupakan hasil pengolahannnya dalam mengenali nuansa atau tipikal lagu, ia juga menambahkannya dengan improvisasi yang pas. Asia dan Eropa sudah dicicipinya. Bagi seorang Mas Didiek, dengan talenta bermusik yang terus terasah dan memiliki dasar musik yang kuat, bukan merupakan sesuatu yang didapat dengan mudah. Ia berujar, bahwa orang akan dihargai kalau punya kepandaian.
“Semua orang itu diberi talenta, maka itu harus dikembangkan. Saya tak pernah membayangkan bahwa saya akan menjadi seperti ini. Saya ini tak punya apa-apa, saya hanya bisa mengembangkan talenta yang telah diberikan oleh Tuhan. Untuk menjadi sukses diperlukan proses belajar yang panjang dan dituntut ketekunan. Jangan pernah putus asa. Kita mesti berjuang keras !” sarannya.

Kunjungan Ke Seminari
Sabtu 26 April 2008 merupakan hari yang berkesan bagi seluruh penghuni Seminari Menengah Santo Paulus Palembang. Pada hari itu, Mas Didiek SSS dan Mbak Jovita AFI berkunjung ke Seminari Menengah Santo Paulus Palembang.

Kedatangan mereka ke Palembang dalam rangka mengisi acara Paskah Bersama Umat Katolik Dekanat I Palembang tanggal 27 April 2008. Oleh Uskup Agung Palembang, Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, mereka diminta untuk hadir dan tampil di kapel Seminari. Harapannnya agar bisa membangkitkan semangat para seminaris dalam hal bermusik.

Saat berkunjung Seminari Menengah Santo Paulus Palembang, Mas Mas Didiek merasakan sebuah semangat persaudaraan. “Saya merasa seperti datang ke rumah saya sendiri. Seandainya seminari ini berada di Jakarta, saya punya keinginan untuk melatih bermain orkes. Saya selalu mendukung usaha untuk mengadakan orkes di seminari ini. Saya dukung 100 %. Jika itu terwujud, mungkin beberapa bulan sekali saya akan ke sini,” janjinya.

Kepedulian mas Mas Didiek terhadap seminari memang begitu besar. Baginya, sudah merupakan kewajibannya sebagai umat katolik untuk memperhatikan pendidikan para calon imam. “Saya bangga dengan jumlah seminaris seminari ini yang cukup banyak. Semoga kalian semua tekun dalam meniti panggilan. Saya selalu berpesan untuk semuanya agar selalu belajar dan rendah hati, karena itulah kunci kesuksesan,” ujarnya.

Bendiktus Yogie W & Andreas Yudistira

Kenangan Berharga Live In di Tegal Arum

Mbok Rondho Sri. Tak terbayangkan sebelumnya olehku bahwa aku akan dapat berjumpa dengan sosok ibu yang sejak dua tahun ini ditinggalkan suaminya menghadap Bapa. Sosok ibu itu akrab disapa Bu Sri. Dia adalah seorang Mbok Rondho Sri beranak dua. Anak pertama bernama Ipung dan anak kedua bernama Puji. Keluarga ini tinggal 15 km dari kota Baturaja. Tepatnya di Unit Transito Tegal Arum.

Sebagai sebuah keluarga petani, Bu Sri dengan kedua anaknya itu hidup dari hasil kebun yang ditekuninya setiap hari. Bangun pagi-pagi pukul 5.30 lalu pergi untuk nyadap karet hingga jam 9.00, dilanjutkan dengan ngobat (nawas karet) adalah pekerjaan rutin yang setiap hari harus dilakukan.

Itulah sekelumit situasi keluarga tempat saya live in. Bagiku situasi itu amat asing. Bukan saja karena Bu Sri ini orang yang baru saja kukenal, tetapi juga rutinitas hidup sehari-harinya yang membuat aku merasa penasaran untuk mencermati dan memahaminya. Meski kuakui bahwa aku sebenarnya merasa tidak kuat harus bekerja memeras keringat. Tetapi aku berusaha untuk tetap bertahan dan menjalankanya.

Bersama keluarga Bu Sri, kini aku berusaha menjadi seorang petani penyadap karet. Tak ada keahlian padaku untuk profesi atau pekerjaan ini. Terlintas di benakku, “Jangan-jangan aku justru akan mengganggu dan merepotkan keluarga Bu Sri.” Tetapi apa boleh buat, karena aku tinggal bersama dengan keluarga yang mata pencahariannya petany karet.

Belajar dari Kesalahan
Pengalaman yang menarik dan berarti kualami bersama dengan keluarga ini. Ketika itu aku merasakan telah melakukan kesalahan besar. Hari itu adalah waktunya untuk ngangkit (mencetak) getah karet. Namun getah yang disadap pagi itu tidaklah mencukpi untuk dicetak. Tanpa disuruh oleh Mas Ipung yang sudah kuanggap sebagai kakakku, rasa penasaranku mendorongku untuk memberikan obat (tawas) pada getah karet itu. Akhirnya getah itu pun menjadi beku.

Kesalahan besarnya adalah bahwa karet yang kuberi obat itu belum siap untuk diberi obat dan harus menunggu cukup untuk dicetak. Oleh sebab itu, akhirnya kami harus kembali menyadap untuk kedua kalinya. Yakni pagi dan siang. Padahal, nyadap dua kali tidak diperbolehkan. Mengapa? Karena akan merusak batang karet atau tanaman karet itu. Lagi pula pada siang hari getah yang dihasilkan dari pohon karethanya sedikit. Getah yang kami perlukan kurang lebih dua ember untuk proses pencetakan. Kakaku merasa ragu jika getah yang dihasilkan pada sadapan siang akan cukup. Akupun menjadi sangat takut dan merasa bersalah.

Dalam situasi kecemasan itu aku berkali-kali berdoa dalam hati berdoa dan memohon kepada Tuhan, supaya getah yang dihasilkan mencukupi. Alhasil setelah kurang lebih dua jam kami menunggu, getah yang dihasilkan pada sadapan siang itu ternyata bisa mencapai dua ember. Kamipun sangat senang, keraguan dan kecemasan yang kami rasakan akhirnya terjawab dengan hasil yang memuaskan.

Pohon Karet yang Bisu
Sekian banyak pohon karet setiap paginya harus kuhadapi. Asyik, karena aku bisa melihat pemandangan alam di kampung karet ini. Syukurlah bahwa aku juga dapat menghirup udara segar di bawah rindangnya pohon karet. Tentu bila ini kubandingkan dengan udara yang setiap hari kuhirup di kota Palembang. Semangatku untuk menyadap karet pun membuat aku semakin mengenali jerih payahnya hidup seorang penyadap karet. Hatiku sangat senang bila hasil sadapan itu memperoleh banyak, apa lagi melebihi hasil biasanya.

Tetapi perasaan senang seperti itu kadang tidak sebanding dengan kebosanan dan kejengkelan-ku dalam menghadapi setiap pohon karet. Bagaimana tidak bosan bila yang kuhadapi kemana-mana hanyalah pohon karet yang tidak bisa diajak omong. Dalam hati kecil aku berkata, pohon-pohon karet ini bisu. Mereka hanya bisa memberikan keteduhan dan mengeluarkan getah, hanya itu.

Bagi Bu Sri dan kedua anaknya, itu hal yang biasa. Bahkan mereka kadang mengalami tidak mendapatkan getah sedikit pun karena hujan yang terus mengguyur pohon karet di kebun mereka. Dengan demikian berarti ia tidak memperoleh uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Bu Sri dan kedua anaknya pun harus senantiasa gelisah tentang getah yang sudah mengalir di setiap pohonnya. Jangan-jangan diangkit orang. Ternyata tidak seringan yang kubayangkan pertaruhan hidup Bu Sri dan kedua anaknya ini. Lalu apa yang membuat mereka tetap bertahan dalam situasi seperti itu? Mereka memiliki harapan yang besar. Mereka selalu yakin dengan prinsip bahwa setiap orang itu khan punya rezeki sendiri-sendiri.

Belajar dari yang Sederhana
Hal baru yang kujumpai menjadi bertambah, ketika semakin lama aku tinggal bersama dengan keluarga Bu Sri. Keluarga ini ternyata sungguh sederhana, entah dari cara hidupnya, rumah tempat tinggalnya, juga isi rumah baik perabot rumah tangga maupun barang yang lain.
Ketika sore menjelang dan kan malam tiba, keluarga Bu Sri ini tidak langsung istirahat. Mereka merasa harus menghadiri pertemuan kring, baik untuk pertemuan kring, doa novena atau rosario. Biasanya kegiatan kring dilaksanakan antara pukul 20.00 sampai dengan 22.00 malam. Aku pun mengiktui rutinitas ini, meski sebenarnya mata ini berat karena cape turut bekerja di kebun pada saat siang. Sepulang dari doa itulah aku baru dapat memejamkan mata ini dan beristirahat. Aku akhirnya sadar dan tahu bahwa kegiatan live in, bukan saja mengajariku agar aku dapat merasakan kegiata-kegiatan yang dilakukan umat setiap harinya, melainkan juga agar aku juga belajar me-manage diri.

Aku semakin mengenal suka-dukanya menjadi seorang petani penyadap karet. Menjelang hari ke-7, aku sadar bahwa aku harus meninggalkan keluarga Bu Sri sebagai keluarga petani penyadap karet. Aku harus kembali ke alam dan dunia-ku sebagai seminaris yang harus belajar dan belajar. Kalu boleh jujur, kejenuhan atau kebosanan berhadapan dengan pohon karet yang asing bagiku perlahan sebenarnya berangsur-angsur mulai berkurang. Akupun dapat merasakan kehangatan sebuah keluarga baru dalam kebersamaan di dalamnya. Kebersamaan yang membuat keluarga ini tetap dalam hidup yang senantiasa rukun dan damai.

Dengan pengalaman berjumpa dengan Keluarga Bu Sri ini, aku juga merasakan adanya suatu kedekatan antara umat dengan Allah dalam hidup rohani mereka. Syukur kepadaMu Allah Bapa yang mengasihiku, karena dengan kegiatan live in ini secara langsung dan nyata aku dapat melihat kedalaman hidup dan kepribadianku untuk terus kukembangkan. Rasanya aku ingin tinggal lebih lama. Tetapi apa boleh buat, biarlah itu sebagai pengalaman berharga bagiku. Aku hanya dapat berharap semoga pengalaman berharga ini menjadi kenangan yang memberikan semangat dan semakin menguatkan hidup panggilan yang aku jalani saat ini.

Sebuah Hikmah
Dalam perjalanan pulang aku merenung-renung, mengapa aku bisa sampai bertahan selama seminggu, bahkan ada keinginan untuk tinggal lebih lama lagi? Aku baru sadar bahwa keberadaanku dalam situasi baru dan asing dapat kujalani dan bahkan kunikmati karena ada suatu greget bahwa aku ingin belajar dan berusaha menjadi teman dan sahabat. Dengan demikian bila aku tinggal dengan mereka menjadi sahabat berarti aku juga harus hidup dan bekerja seperti mereka demi kelangsungan hidup mereka dan hidupku.
@Re-Camp

Selamat Jalan Kakakku

Ada perjumpaan pasti ada perpisahan. Perpisahan! Ya, kata itulah yang sering memiliki suatu makna. Perpisahan berarti meninggalkan suatu hal. Tak jarang orang begitu berat untuk meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang ditinggalkan itu mungkin memiliki kesan yang bermakna dan menarik.

Itulah yang dialami oleh kakak-kakak kelas Rhetorica akhir, yang hendak meninggalkan seminari untuk menempuh hidup panggilan di jenjang selanjutnya. Kakak-kakak kelas Rhetorica sudah menyelesaikan pendidikannya di seminari dan secara bulat hati memutuskan untuk terus menanggapi panggilan. Mungkin ada perasaan berat untuk meninggalkan seminari, setelah sekian waktu mengisi hari-hari di seminari tercinta. Pastilah telah banyak kesan yang terukir.

Sudah menjadi suatu hukum bahwa hidup penuh pilihan. Mempertimbangkan sekian banyak pilihan, memutuskan pilihan akhir, dan memberikan komitmen atas pilihan yang sudah diputuskan adalah hal yang kita lakukan setiap hari dalam hidup ini. Hal ini berlaku baik untuk pilihan-pilihan dalam hal yang ringan, sedang, sampai pilihan-pilihan berat yang strategi dan sangat besar dampaknya terhadap hidup seseorang.

Seperti yang dialami kakak-kakak kelas Rhetorica, di seminari ini merupakan masa persiapan untuk menjadi imam. Pendidikan di seminari merupakan sebagian dari proses formasi pembentukan calon imam. Semua proses pembentukan calon imam itu bertujuan untuk memberikan suatu kemantapan agar benar-benar bisa memutuskan menjadi imam. Untuk menjadi imam kita dihadapkan pada dua alternatif pilihan untuk menjadi awam atau menjadi imam.

Dua pilihan hidup ini, memiliki konsekuensi tersendiri. Kalau memilih hidup sebagai imam, maka harus meninggalkan segala kemungkinan yang dapat kita peroleh dalam hidup berkeluarga. Tri prasetya kekal nanti harus dijalani dengan sukacita dan penuh komitmen hingga akhir hayat.
Untuk memutuskan hal itu tidak dapat terjadi sekaligus, perlu pematangan. Di seminari inilah kakak-kakak Rhetorika telah memperoleh dan merasakan kesempatan untuk mempertimbangkan pilihan hidup secara cermat.

Setelah mempertimbangkan semua itu secara masak dalam proses pendidikan di seminari ini. Kini tibalah saat perpisahan bagi kakak-kakak kelas Rhetorica yang telah memutuskan untuk terus menanggapi panggilan Tuhan.

Kakak-kakakku, kita semua patut bersyukur pada Tuhan sebab berkat karunia-Nya, kakak-kakak bisa menyelesaikan pendidikan di seminari ini dan secara mantap memutuskan untuk terus meniti jalan panggilan .

Meskipun belum sampai tujuan, kita patut bersyukur bahwa kakak-kakak sudah berada lebih dekat dengan tujuan itu, yakni imamat. Kita sadari bahwa semua itu tidak mungkin terjadi jika tidak ada campur tangan Tuhan lewat pembimbing dan semua orang yang mendukung kakak-kakak semua.

Kakak-kakakku, tiada yang dapat kami berikan selain ucapan terima kasih yang tulus dari adik-adik kelas. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini, atas nasehat, atas canda tawa, atas kerja sama kita, atas doa, dan banyak hal yang lain.

Ingatlah bahwa perjalanan menuju imamat masih panjang. Berjuanglah untuk mencapainya. Kami selalu berdoa untuk perjuangan kakak-kakak, agar Tuhan selalu memberkatinya. Kami juga mohon doa dari kakak-kakak agar kami dapat berjuang dalam meniti panggilan di seminari ini. Kami mohon maaf jika selama ini kami melakukan kesalahan, baik yang disengaja maupun yang di sengaja.

Selamat jalan kakak-kakakku. Jangan lengah dan kuatkan dirimu selalu. Hadapilah semuanya dengan mantap dalam naungan Tuhan. PROFICIAT!!!!


Re-camp

Minggu, 01 Juni 2008

PROFIL KELAS RHETORICA AKHIR

“Walaupun harus mengalami jatuh bangun seminari, namun saya merasa menjadi pribadi yang lebih baik dengan ingin selalu menjadi lebih baik lagi demi Tuhan dan sesama”. Itulah kesan Andraes Sudi Novianto yang terlahir tanggal 21 November 1987 di sebuah desa Ringinharjo, Kalirejo, Lampung. Ia memiliki banyak nama panggilan di Seminari, mulai dari Sudi, Andreas, dan Novi. Ia Seminaris bertubuh kecil ini gemar bermain voli dan jalan-jalan.
Moto hidupnya : “Aku ada dari dia dan untuk Dia - Ini aku utuslah aku” (Yes 6:8). Untuk itu ia memutuskan bergabung ke konggregasi SCJ.

“The experiences are the brutal and the best teacher”. Itulah kalimat yang sering diucapkan oleh Christoforus Susanto tatkala ia mengalami suka dan duka di Seminari, karena Tuhan selalu membentukku dalam setiap pengalaman hidup. Ia Lahir di Sukamakmur tanggal 21 Juli 1985. ini bernama lengkap. Seminaris asal Paroki Santo Yusuf Pekerja Tulang Bawang ini dipercaya menjadi bidel periode 2007/2008. Ia memiliki hobi membaca.
“Kuserahkan diriku sebagi persembahan yang hidup, kudus, dan yang berkenan kepadaMu” (Rom 12;1). Itulah motto hidup yang dipegangnya. Sebagai tanda cintanya kepada tanah kelahirannya, seminaris yang satu ini memilih untuk menjadi calon imam diosesan Keuskupan Tanjung Karang.

“Pendidikan di Seminari sangat bermanfaat bagiku. Aku merasa senang karena di sinilah aku mendapat banyak pengalaman, teman, pengetahuan, dan terlebih lagi pembentukkan pribadi.” Itulah kesan Fransiskus Halomoan Manalu. Ia muncul di dunia tanggal 21 September 1986 di Taman Raja. Sepak bola dan membaca menjadi hobi seminaris asal Paroki santa Theresia Jambi ini.
Moto hidupnya : “Aku datang untuk melayani bukan untuk dilayani”. Motto itulah yang mendorongnya untuk bergabung sebagai calon imam diosesan Keuskupan Agung Palembang.

Sosoknya yang pendek kecil membuat orang yang baru pertama kali bertemu dengan Jeremia Ginting menjadi sungkan, tapi seminaris kelahiran Rambang Batu 27 Januari 1985 ini justru ramah dan murah senyum. “Selama saya tinggal di seminari, saya merasakan kegembiraan yang besar sebab begitu banyak yang peduli dan cinta kepada kami di seminari”. Itulah kesannya selama tinggal di seminari. Bermain catur, voli, dan baca buku itulah hobi seminaris asal Paroki Hati Santa Perawan Maria Yang tak Bernoda Tanjung Pinang ini. “Hidup ini bukan untuk belajar, tapi belajarlah untuk hidup”, itulah motto hidup calon imam diosesan Keuskupan Pangkal Pinang ini.

Meskipun badan pendek, tapi panggilan tetap mantap. Selogan itu menguatkan Nikolas Rahmat Slamet Riyadi, seminaris yang bertubuh kecil (kalau tidak mau disebut kurus). Menghirup udara segar bumi sejak 17 mei 1988 di Jakarta, tetapi dibesarkan di Paroki Santo Petrus Borobudur. Penggemar komputer ini memiliki motto hidup “Totus Tuus” ( Aku milikMu sepenuhnya). Dengan motto itulah ia memberanikan diri untuk melintas batas untuk menjadi calon imam Keuskupan Agung Palembang.
Kesannya selama tinggal di seminari, “Menyenangkan dan menggembirakan, sebab banyak para donatur yang mau tergerak hatinya untuk membantu kami. Terima kasih kuucapkan untuk para donatur seminari.”
Aloysius Albertri Danier adalah salah satu organis senior di seminari. Meski ia mahir menggerakkan jari di atas tuts organ atau keyboard, seminaris kelahiran Tanjung Enim, 19 Januari 1990 juga pawai dalam berolahraga. “Terima kasih kepada orang-orang yang telah berpartisipasi dan mendukung panggialnku”. Itulah kesannya untuk seminari.
“Melayani Tuhan dan sesama dengan rendah hati”, itu motto hidupnya. Karena ia berasal dari Paroki Santo Yosep Tanjung Enim, maka ia memutuskan untuk menjadi calon imam diosesan Keuskupan Agung Palembang.

“Hidup akan bermakna bila setiap peristiwa direnungkan”, itulah motto hidup Bernadus Chandra Wahyudi, seminaris asal Paroki Santo Yusuf Pringsewu ini. Pemuda penggemar olahraga dan baca buku ini terlahir tanggal 4 Juni 1989 di Pagelaran, Lampung. Sebagai wujud keseriusannya dalam panggilan ia memilih untuk menjadi calon imam SCJ.
Kesannya untuk seminari “Di tempat ini saya bertambah dan berkemabng untuk menjadi pelayan Tuhan dengan segala kelebiahn dan kekurangan. Seminari is the best for me!”

“Kutilang” (kurus, tinggi, langsing) kiranya cocok untuk melukiskan postur tubuh seminaris asal Paroki Santo Isidorus Singkut ini Lahir di Singkut 5 Juni 1989. Dialah Juspani Bonifasius Lase. Seminaris yang satu ini punya segudang hobi, mulai dari membaca buku, mendengarkan musik, dan bermain voley. Orangnya ceria dan ramah. “Berikanlah yang terbaik bagi Allah di setiap harimu”, itulah motto hidupnya. Dengan semangat hidup yang didorong oleh motto hidupnya itu, dia memilih untuk menjadi calon imam pada konggregasi SCJ.
Kesannya untuk seminari “Seminari tempat awalku meniti panggilan dan aku bersyukur bisa merasakannya, apalagi mendapat teman yang membantu saya dalam panggilan ini”.

Metro merupakan tempat awal baginya untuk hadir di dunia ini. Tepatnya tanggal 21 April 1989. Kegemarannya membaca dan mendengarkan musik membuat seminaris asal Paroki Santo Yohanes Rasul Kedaton, Bandar lampung ini menjadi orang yang sangat kritis dan ceria. “Saya percaya bahwa saya dapat melakukannya”. Itulah motto hidup dari Leo Adiwidiangga. Tidak salah jika ia pun diterima sebagai calon imam SCJ.
“Kita harus dilatih dalam berbagi keutamaan dan mengamalkan keutamaan yang sudah sanggup kita lakukan. Baru kita akan sanggup memahami pengetahuan tentang semua keutamaan dan dapat menilai secara bijak keutamaan itu.” Dengan ungkapan itulah ia merumuskan kesannya buat seminari.

Michael Surya Hardi adalah sosok yang tumbuh dan berkembang di kota Palembang. Ia terlahir 4 November 1988. Jarak rumahnya dan seminari pun hanya sekitar 7 kilometer di wilayah Paroki Santo Fransiskus De Sales Palembang. Seminaris kelahiran Palembang ini memilki hobi nonton film, voli, mendengarkan musik, dan bermain gitar. “Hidup ini adalah perjuangan yang tak berakhir”, itulah motto hidup calon imam SCJ ini.
Kesannya untuk seminari “Ingatlah bahwa cinta itu tidak akan pernah mati dan sirna. Termasuk saat objeknya sudah tak ada lagi”.


Fransiskus Xaverius Rendi Jawal adalah satu-satunya “jeme dusun” kelahiran Pagaralam, 24 Februari 1989. Ia mengaku punya hobi jalan-jalan. Suara lantang sudah menjadi kekhasan dan melekat pada diri seminaris asal Paroki Santo Michael Tanjung Sakti ini. “Dalam hal kecil amupun besar, janganlah bodah dan jangan dari sahabat menjadi musuh” (Sir 5:11), menjadi motto calon imam SCJ ini.
Kesannya untuk seminari “Hidup di Seminari sungguh membahagiakan, karena semuanya telah ada”.

Thomas Waluyo, seorang pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera) ini satu-satunya calon imam SSCC. Ia mengaku punya hobi berolahraga, tetapi pemuda kelahiran 14 Maret 1988 ini juga mahir bermain musik keroncong. Ia amat pawai dalam memainkan bass “betot”. Kesannya untuk seminari sebagai seminaris yang berasal dari Paroki Santa Peraawan Maria Fajar Mataram adalah “Seminari telah membuatku mengerti akan arti sebuah kehidupan”. Motto hidupnya “Jadikanlah kegagalan sebagai batu loncatan untuk menjadi lebih baik lagi”.

Yohanes De Brito adalah seminaris yang bertubuh “pendekar” (pendek - kekar). Apakah karena itu ia terdorong untuk bergabung sebagai calon imam MSF? Jawaban hanya benar bila ditanyakan kepada pemuda yang berasal dari Paroki Santo Stefanus Talang Betutu ini. Ia memiliki hobi membaca, olah raga, dan mendengarkan musik instrumental. “Hidup akan terasa lebih, saat kita berani bersyukur”, itulah motto hidup seminaris kelahiran 11 Juni 1989 ini.
Baginya seminari menjadi kawah candra dimuka. Oleh karena itu, kesannya untuk seminari “Di kawah candradimuka inilah saya dibentuk dengan segala keterbatasan yang saya miliki. Di sini pulalah saya memperoleh kebahagian. Dia yang memberi, Dia pulalah yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan!”

Olahraga dan memancing menjadi hobi seminaris asal Paroki Santa Theresia Jambi ini. Tubuhnya yang kekar membuat calon imam SCJ ini dipercaya sebagai bidel umum 2007/2008. “Ego sum debilis et Deus vita perfectus est”, itulah motto hidup dari Yohanes Dwi Kristianto. seminaris kelahiran Pasir Mayang 19 Desember 1988 ini. Kesannya untuk seminari “Di seminari, aku merasa bahagia karena adanya kebersamaan sebagai keluarga besar”.

“Saya hanya bisa berusaha dan berdoa, selanjutnya biar Tuhan yang menentukan”, itulah motto hidup seminaris kelahiran Rejodadi 21 April 1989 ini. Keramahan dan keceriaan selalu melekat dalam diri Pius Agung Nugroho, calon imam diosesan Keuskupan Agung Palembang. Menyanyi, membaca novel, dan berenang menjadi hobi seminaris asal Paroki Santa Maria Assumpta Mojosari, Belitang ini. “Suka dan duka, tawa dan derita, menangis dan bahagia adalah suatu kenangan yang tak terlupakan. Boleh berproses dan berpotensi di seminari adalah kebanggan tersendiri. Seminarium Amo!” Itulah kesannya setelah empat tahun tinggal di seminari.

Seminaris yang ber-nickname Miki ini lahir di Gumawang, 6 Februari 1989. Dia mengaku sebagai orang yang senang mendengarkan dan bermain musik. Seminaris asal Paroki Santa Maria Tak Bernoda Gumawang ini bernama lengkap Paulus Miki Tobat Mursito. “Your grace enough to me” adalah motto hidup calon imam diosesan Keuskupan Agung Palembang ini. Kesannya selama empat tahun tinggal di seminari “Persembahan hidupmu tidak pernah akan sebanding dengan pengorbananNya, namun sadarilah bahwa hal yang demikian yang Dia harapkan.”
Mengandalkan tinggi badannya, membuat seminaris kelahiran Purwodadi 8 Agustus 1989 ini gemar berolahraga basket. Asal parokinya yaitu paroki Santa Maria Pengantara Lahat, membuat Paulus Roy Setiawan memilih menjadi calon frater Diosesan Keuskupan Agung Palembang. “Hari ini hendaknya lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok hendaknya lebih baik dari hari ini” itulah motto hidupnya. Kesannya untuk seminari “Seminari, di mana aku hidup hampir empat tahun tetap aman, sebab Santo Paulus selalu berjaga di depan kolam ikan”

Tubuh yang besar membuatnya tertantang untuk selalu memanggul salib. Maka tak salah jika Yosef Triadi Nugroho memilih bergabung sebagai calon imam OSC. “Aku sekali-kali tidak mau bermegah sealin dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal 6:19). Itulah motto hidupnya. Membaca menjadi hobi seminaris kelahiran Palembang 20 Februari 1989 ini. Rumahnya pun tak jauh dari seminari, tepatnya berada di wilayah Paroki Santo Fransiskus De Sales Palembang. Ia tinggal di seminari selama empat tahun, maka kesannya untuk seminari “Tiada pengalaman hidup yang lebih indah, selain pengalaman formatio di seminari”

Berasal dari daerah Lugusari, Paroki Santo Yosef Pringsewu membuat Yulius Ardian Sofianto pun bersikap lugu. “Terus berjuang dan tetap berjuang. Pertempuran baru dimulai”, itulah motto hidup dari seminaris yang hendak bergabung sebagai calon imam SCJ ini. 16 Juli 1989 merupakan awal hidupnya. Sebagai seorang semianris, ia memiliki hobi musik dan nonton. Kesannya untuk seminari “Seminari sangat baik, untuk mengolah kepribadian dan kedewasaan. Para staf dan guru sangat baik dan sabar dalam mendidik para seminaris.”

Seminaris asal Paroki Para Rasul Kudus Tegalsari ini memiliki hoby mendengarkan musik rock dan slow. “I will come for you and give you new heart so that you have a life”, itulah motto dari Heinrich Hendric Ardianto. Hali itulah yang membuat seminaris kelahiran purwodadi ini memilih bergabung sebagai calon imam SCJ. Kesannya untuk seminari yang dicintainya adalah “Mengembangkan hidup, mengolah kepribadian, mencintai doa, dan menjalin relasi di seminari santo paulus adalah emas yang paling berharga.”

Terlahir di Palembang 29 Agustus 1988, membuat seminaris asal Paroki Trinitas Bangun Sari Belitang ini memilih bergabung sebagai calon frater Diosesan Keuskupan Agung Palembang. “Hidupku adalah Kristus, kematianku adalah keberuntungan”. Itulah motto hidup Hendrikus Dian Ristiandi, yang memiliki hobi bernyanyi dan olahraga ini. Ia tinggal di seminari selama dua tahun, maka kesannya untuk seminari “Hidup di seminari adalah hidup yang membahagiakan. Seminari adaalah posko iman bagi hidupku. Seminari adalah saudaraku.”

Seminaris asal Paroki Santo Yosep Pringsewu ini memiliki hobi olah raga lari. Kepiawaiannya dalam memetik gitar membuat orang bisa-bisa terpesona. “Aku hidup untuk melayani” itulah motto hidup dari Thomas Bayu Apriyanto, seminaris kelahiran Pringsewu, 20 April 1989 ini. Keyakinannya akan panggilan Allah, dijawabnya dengan menggabungkan diri sebagai calon imam ordo Carmel. Kesannya untuk seminari “Luar biasa, seminari menjadikan aku pribadi yang lebih baik dan matang dari sebelumnya.”

Memaknai Perpisahan

Gejolak Rasa di Kala Berpisah
Ada perasaan berat ketika orang harus melangkah meninggalkan sesuatu. Terlebih bila sesuatu itu sudah dikenalnya. Sekian waktu telah mengisi hari-harinya. Atau mungkin telah menjadi bagian dari hidupnya. Bahkan telah banyak kenangan yang ditorehkan. Sepenggal lirik lagu pop berbunyi, “bukan perpisahan yang kusesali tapi pertemuan yang kusesali” ingin mengatakan bahwa kalau nanti ujung-ujungnya berpisah, lebih baik tidak pernah bertemu supaya tidak mengalami sedihnya sebuah perpisahan. Memang harus diakui bahwa perpisahan itu meninggalkan bekas kepedihan yang mendalam, apalagi berpisah dengan orang yang dikasihi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kesedihan yang mendalam merundung diri para murid Tuhan Yesus. Bahkan ketika mereka tahu bahwa guru yang mereka kasihi mati dengan cara tragis, digantung di atas kayu salib. Para murid tidak hanya bersedih tapi juga dicekam ketakutan, kalau-kalau mereka ditangkap dan disalib seperti guru mereka. Mereka tercerai berai, bersembunyi, kecewa, dan patah semangat. Yesus yang mereka banggakan, agungkan, dan menjadi tumpuan harapan mereka, kini tidak ada lagi. Mereka seolah kehilangan arah. Yesus sendiri pernah mengatakannya kalau murid-murid-Nya akan kucar-kacir seperti domba yang tidak bergembala (Mat. 26:31).

Ada rasa inginkan salam perpisahan, kata berpisah dari siapa saja. Meski kadang itu hanyalah sebuah harapan. Bisa jadi ia sendiri justru tak mengharapkannya. Mungkin bukan salam perpisahan, karena memang tidak ada perpisahan, tetapi apa salahnya mengucapkan sekedar ucapan terima kasih karena sudah sekian lama hidup bersama.

Kata ‘perpisahan’ mau tidak mau mengajak seseorang untuk melihat jauh ke dalam soal kenangan indah yang pernah diukirnya. Keadaan yang demikian bisa saja semakin memantapkan seseorang untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat. Namun tak dapat dipungkiri juga bisa membuat orang antipati dalam mengayunkan langkahnya, karena kenangan rusak yang diukirnya.

Kadang orang harus berpikir, apakah memang hal itu yang harus diperjuangkan? Apakah ini sungguh pilihan hidupku? Di luar sana mereka menyuarakan tentang karier, kesuksesan, keluarga bahagia, dan kemajuan teknologi. Tapi apakah mereka memahami apa yang sedang mereka suarakan itu? Jangan-jangan apa yang mereka katakan itu bertentangan dengan apa yang mereka lakukan. Tampaknya keduanya mempunyai resiko atau konskuensinya.


Berpisah dan Berubah
Selama sekian tahun orang hidup dalam proses formatio atau pembinaan, ia pasti akan kenal dengan rasa pahit dan manisnya hidup yang dipilihnya. Masa-masa bahagia tentu pernah mengisi hari-harinya. Masa-masa di mana ia menjadi sebuah keluarga yang saling mendukung, saling berbagi antara kesedihan dan kebahagiaan seakan menjadi torehan yang akan selalu dikenangnya.

Awalnya tak pernah terpikirkan kalau ia harus meninggalkan semua kisah itu. Ia pun harus menjadi mantap dengan langkahnya untuk meninggalkan kisah-kisah itu. Ia harus mengayunkan langkahnya dengan penuh semangaat untuk meraih cita-citanya dengan sebuah harapan baru akan hari esok yang akan lebih baik. Ia harus melangkah dengan menutup lembaran buku lama dan membuka kembali lembaran yang baru.

Perpisahan tak selalu menimbulkan kesedihan. Perpisahan itu justru mendatangkan sukacita besar, memberi semangat hidup, bahkan mengubah hidup sekelompok orang. Perpisahan itu dialami oleh Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya, ketika Ia diangkat ke surga meninggalkan murid-murid-Nya di dunia.

Tapi keadaan berubah total, seolah berbalik 180o. Pada saat itu kesebelas rasul sedang berkumpul dengan teman-temannya (Luk. 24:33), Yesus menampakkan diri kepada mereka dan membawa mereka ke Bukit Zaitun. Setelah mengucapkan pesan terakhir, dan memberkati mereka, Yesus terangkat ke surga. Melalui peristiwa kenaikan Yesus ke surga, murid-murid-Nya diubahkan. Alkitab mencatat, “lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita.

Mereka senantiasa berada di dalam Bait Allah dan memuliakan Allah” (Luk. 24: 52-53). Mereka yang dulu sedih kini sangat bersukacita. Para murid yang sebelumnya bersembunyi dari orang-orang Yahudi, tapi sekarang menampakkan diri secara terang-terangan di Bait Allah, yang notabene adalah sentral keagaaman orang Yahudi. Mereka yang tidak punya gairah hidup, menjadi orang-orang yang memuliakan Allah. Sedemikian dasyatnyakah peristiwa kenaikan Tuhan Yesus telah merubah mereka? Apa yang telah mengubah mereka? Mereka digerakkan oleh Roh yang saat itu menjadi daya hidup mereka.

Berpisah dan Berbuah
Harus di-amin-i bahwa panggilan adalah rahmat Allah. Sebuah undangan untuk mewartakan kasih Allah, Bapa. Di satu sisi menuntut ketergerakan pribadi untuk membalas cinta Allah, sekaligus menuntut gerak bersama dalam saling berbagi cinta Allah itu. Oleh karena itu perpisahan hanyalah sebagai sebuah konsekuensi atas panggilan yang dipilih untuk semakin menghasilkan buah di tempat yang lain dan bersama dengan yang lain. Yang jelas gerak membalas cinta Allah itu terus menjadi dinamika hidupnya.

Kesadaran sebagai priadi yang dipanggil Allah dan menjawabnya menjadi modal awal untuk bisa menghasilkan buah. Tetapi kesadaran itu tidak cukup. Orang juga harus sampai kepada pribadi yang menemukan makna hidupnya. Mengapa demikian? Sebab, kekosongan nilai dan makna hidup menjadi persoalan yang mendasar dan harus dihadapi sebelum orang serius akan panggilan. Dengan demikian orang akan mempunyai orientasi hidup dan nilai-nilai fundamental yang senantiasa diperjuangkan. Orang yang sampai pada kesadaran diri sebagai orang yang terpanggil dan menemukan makna hidupnya serta memiliki orientasi hidup, maka ia akan senantiasa membangun budaya baru yang memungkinkan orang-orang di sekitarnya menemukan makna hidup mereka di hadapan Allah.
@Fr. P. Haruanto

Good Luck

“Campana” berarti lonceng. Dalam kehidupan di seminari lonceng mempunyai peran yang sangat penting. Banyak aktivitas di seminari diawali dan diakhiri dengan bunyi lonceng. Tujuan dari pemakaian lonceng di seminari adalah untuk membantu para seminaris menata hidup secara teratur, disiplin dalam memanfaatkan waktu, dan mempermudah pelaksanaan aneka kegiatan. Lonceng itu menggerakkan, mendorong dan mengarahkan untuk bertindak. Ketika lonceng dibunyikan pada saat tertentu seorang seminaris sudah tahu dengan pasti harus bergerak kemana dan berbuat apa.

Para perintis majalah Campana tempo dulu tampaknya mengharapkan agar Campana dapat menjadi lonceng yang menggerakkan para seminaris untuk bertindak. Pertama-tama tentu supaya mereka tergerak untuk mengembangkan kreativitas dalam tulis menulis. Dan selanjutnya bila tulisan itu menarik dan inspiraratif pasti juga akan menggerakkan para pembaca untuk bertindak.

Setelah mati suri untuk beberapa waktu majalah Campana kini hidup lagi. Dengan penampilan dan format yang berbeda dari edisi-edisi sebelumnya Campana siap mengemban misi utamanya sebagai lonceng yang mendorong dan mengarahkan kita semua untuk bertindak.

Tema yang diusung dalam terbitan kali ini adalah “SAY GOOD LUCK”. Kalimat tersebut lazim diucapkan untuk mereka yang pamitan atau yang akan melaksanakan aktivitas tertentu. Di penghujung tahun ajaran 2007/2008 ini seminari melepas 22 siswa kelas Rhetorica akhir untuk melanjutkan proses formasi ke jenjang berikutnya.

Pada suatu ketika Nasrudin pergi ke negeri Cina. Di sana ia mendirikan padepokan dan mengumpulkan murid untuk dibimbingnya dalam segala kebijaksanaan hidup. Setelah para murid mendapat penerangan budi, mereka semua meninggalkan Nasrudin. Padepokan yang baik dan guru yang arif pasti ditinggalkan para muridnya. Begitulah yang terjadi setiap tahun seminari selalu ditinggalkan sejumlah murid yang telah berhasil menjalani masa formasi selama periode waktu tertentu.

GOOD LUCK adalah ungkapan yang mengandung harapan dan optimisme. Mereka yang berhasil melewati jenjang formasi di seminari diharpakan juga akan berhasil melewati jenjang-jenjang formasi berikutnya. Tantangan dan kesulitan yang mereka akan hadapi tentunya juga akan berbeda dengan apa yang telah mereka alami di seminari. Namun demikian pengalaman dan ketrampilan yang mereka dapatkan selama di seminari dapat menjadi landasan untuk optimis dan yakin bahwa mereka akan mampu menghadapi semuanya itu.

GOOD LUCK adalah kata yang sangat tepat untuk diucapkan kepada 22 mantan siswa seminari yang lulus tahun ini. Mereka masih harus menapaki jalan panjang di tempat yang baru. Tentu saja mereka tidak akan pergi bersama-sama ke tempat yang sama karena 9 diantaranya melamar ke SCJ, 7 melamar ke keuskupan Palembang, dan masing-masing 1 melamar ke MSF, OSC, Ocarm, SSCC, keuskupan Pangkalpinang, dan keuskupan Tanjungkarang.

22 Siswa yang lulus dan meninggalkan seminari tahun ini telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan bekal yang cukup guna menapak langkah di jalan panggilan selanjutnya. Mereka seperti para murid Nasrudin yang dengan bangga meninggalkan padepokan seminari; meninggalkan sang guru untuk mempraktekkan hasil penerangan budi dan kebijaksanaan hidup. Sesuai dengan nama majalah kita “Campana” di tempat yang baru nanti mereka diharapkan mampu menjadi lonceng yang menggerakkan. GOOD LUCK.