Selasa, 03 Juni 2008

ODE HARMONI


Diluar, hujan rintik rinai. Langit mendung bersenadung. Bianglala membias tertembus sinar senja. Harmoni merranya menemani sosok tubuh yang terpaku menatap isi dalam bingkai usang disalah satu bagian tembok rumahnya. Sembari menatap tangannya memegang sebuah buku. Tak dihiraukannya badai angin kecil yang menghujan kulit arinya. Sesekali muncul senyum kecil dibibirnya.

Ia melangkah lalu, mengambil sebuah kursi dan kemudian duduk bebas. Perlahan tangan kekarnya mulai mebolak-balik halaman dari buku itu. Nyanyian burung pipit di senja itu membuat segala sesuatu hilang dari jangkauan pikirannya, selain sebuah buku yang dihadapinya.

“Dik,.......dik.....dik!?!? Baru datang ya?”
“Ng......, iya mas!” sambut seorang anak sembari memberikan senyum
“Sendirian !?!?”
“Mboten mas, kulo kaleh simbok (tidak mas, saya bersama ibu) !”

Aku ingat betul bagaimana rasnya saat pertama kali menjejakkan kakiku di Seminari St. Paulus. Aku melihat wajah-wajah malaikat yang mempesonakanku. Dengan rasa ramah aku disambut olehnya, begitu juga dengan teman-temanku yang baru datang lainya. Aku merasa bukan sebagai orang asing lagi, sekalipun aku belum mengenal satu orangpun dari antara mereka.

Waktu terus bergulir, menerobos gelapnya perbedaan dan ego. Kesombongan dan rasa minder menjadi celaan abadi. Aku dan teman-teman selalu menguatkan dengan saling mengingatkan terhadap setiap penyimpangan yang sudah terjadi. Kritik, ejekan, sindiran sudah menjadi bagian dari hidup kami. Bagi kami, kebutuhan dalam study bukanlah hambatan yang patut ditakuti. Sekalipun kami menyadari bahwa menjadi sosk yang berhasil dan terkenal adalah cita-cita hidup. Namun selain dari pada itu masih ada yang lebih dari pada sekedar sukses yaitu “setia” pada komitmen awal.

Beberapa halaman buku catatan sudah aku baca. Kemudian aku mengambil sebatang pensil yang baru aku beli tadi pagi. Sambil meruncingi pensil, aku membayangkan jika setiap orang adalah sama seperti pensil bersedia diruncing agar bisa berfungsi sekalipun itu menyakitkan aku melihat bahwa aku adalah sebatang pensil yang akan berguna jika berada di tangan Tuan yang benar, yaitu Allah sendiri. Sama seperti pensil yang diruncingi,akupun harus bersedia mengalami pengalam yang menyakitkan yang mampu merpertajam goresan panggilanku. Pensil memberikan arti banyak, tentang arti kesiapsediaan dan kesanggupan untuk dihapus dari lembara-lembaran kertas. Tidak selamanya yang tertulis itu baik, terkadang perlu juga menoreksi diri dan siap menerima gurat-guratan baru dari si Tuan. Aku menyadari bahwa ada saatnya aku ditolak, dihapus, bahkan ditiadakan. Berhenti sejenak dan berefleksi adalah penting, terutama untuk melihat kembali siapakah aku ini dan apa yang telah aku perbuat selama ini?

Senja telah lama beranjak menuju tempat peraduannya. Bintang-bintang saling menodong senyum udara malam merayap menerobos rongga-rongga kaca yang masih menganga. Segera setelah sadar sang sosok menutup buku hariannya sembari menutup jendela. Selangkah dari asal, sang sosok menoleh ke belakang dan melempar senyum pada sepucuk surat yang baru saja ditulisnya. Terlihat kebahagiaan dalam armi jiwanya lewat rasa syukurnya yang ia tuliskan dalam surat itu :

Yth.
Sahabatku, di medan juang

Salam Damai Kristus,
Kepada kalian yang merasa dihapus dari lembaran ini, aku mengucap syukur untuk semua itu. Janganlah kalian berkecil hati dan menjadi benci pada masa lalu. Ingat, kebencian dan cinta tumbuh dari akar yang sama hnya bermuara pada buah yang berbeda. Sejauh aku mendengar, kalian telah memperoleh kebahagiaan dari apa yang telah kita terima di Seminari. Hendaknya kalian menyadari betapa kami merindukan kalian untuk bercanda dan berbagi kisah kembali seperti dulu. Sungguh, Allah itu adil ! Ia menghapus kalian dari lembaran ini karena Ia mempunyai rencan dan rancangan baru untuk kalian, yang jauh lebih indah. Tetaplah bersyukur. Kepada kalian yang merasa tidak pantas dan mundur atas kehendak bebas kalian, aku juga mengucap syukur bagi kalian. Kalian telah mempergunakan kebebasan kalian sebagai Anak-anak Allah dan Allah menghargai kebebasan itu. Jadi, hendaklah kalian bertanggung jawab dan bertambah bahagia atas pilihan itu sebab ada banyak saudara-saudari kita ynag mungkin sudah tidak mempunyai pilihan lagi dalam hidup mereka.

Dan kepada kalian yang masih berada di jalan ini, akupun mengucap syukur. Bukan karena kehebatan dan kebaikan kalian aku bersyukur tetapi karena “kesetiaan” kalian yang tak terukur. Berbanggalah selalu kalian sebab bukan kepada sembarang orang Allah memanggil tetapi hanya kepada orang yang berkenan di Hati-Nya Allah memanggil.



Sahabatmu

@Pius Agung
Rhetorica A